Wednesday, October 15, 2008

Tasauf

Pada zaman Nabi tidak ada tasauf. Tasauf muncul beberapa waktu setelah kejayaan islam di dunia, dimana umat islam telah mengalami kehidupan yang makmur, harta belimpah, banyak uang, sehingga sebagian umat yang tadinya patuh dan taat mengikuti sunah Nabi, mulai sedikit-demi sedikit meninggalkan ajaran agamanya. Melihat kondisi tersebut para ulama yang tidak mau terkontaminasi dengan kondisi masyarakat yang tidak lagi mengutamakan ajaran agama, berusaha menyingkir dari kota, pergi dari kehidupan ramai menuju ke kampung atau pegunungan untuk bisa melaksanakan ajaran agama secara holistic dan murni. Hal ini disebut uzlah.

Mereka para ulama tersebut berusaha hidup sederhana tidak mau mengikuti pola hidup masyarakat perkotaan yang hidup mewah. Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol (Suf) kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan dan kejauhan dari dunia. Akhirnya para ulama tersebut yang memakai pakaian suf, diberi gelar sufi. Sedangkan ajaranya disebut dengan tasauf.
Pada intinya ajaran sufi bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dimana pada tahap tertinggi disebut dengan Ma’rifat. Mengenal Allah. Untuk mencapai tahap ma’rifat ada beberapa tahap yang harus dilalui. Tahap tersebut disebut juga maqam atau maqammat dalam bentuk jamak. Sedangkan jumlah tahapan atau maqam tersebut berbeda-beda menurut para ulama tergantung kepada jalan (tareqat) yang dilalui. Ada yang menebutkan 4 maqam, 8 maqam, ada yang 10 maqam. Contohnya kalau kita dari Bandung berangkat ke Jakarta, ada beberapa sub terminal yang harus dilalui sebelum sampai di Jakarta. Misalnya:
1. Bandung, Cianjur, Puncak, Bogor, Jakarta. 4 terminal
2. Bandung, Cianjur, Bogor, Jakarta. 3 terminal
3. Bandung , Cipularang, Jakarta. 2 terminal

Sekarang ada yang bertanya, Siapa saja yang bisa mengikuti atau menjalankan ilmu tasauf? Dalam pengertian mendekatkan diri kepada Allah, semua orang bisa menjalani hidup sufi, atau tasauf. Dan harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Bisa saja orang yang saat ini sering atau suka melakukan kegiatan maksiat, tahun depan tingkah lakunya berubah 180o. Seseorang yang hari ini sering berpakaian yang membuka aurat, bisa saja bulan depan menjadi muslimah yang taat, berpakaian dan bertutur kata secara islami. Misalnya ada seorang wanita yang sehari-harinya dia memakai pakaian tidak islami, diperingatkan oleh seorang ustadz, namun dia menjawab, saya lagi bersedeqag, Subhanallah. Namun tiba-tiba dia berubah jadi baik….
Namun untuk mencapai itu perlu perjuangan atau pertobatan. Taubat itu artinya kembali. Tobatnya seorang umat sangat disukai oleh Allah. Kebahagiaan Allah ketika menerima taubat umatnya lebih bahagia dari kebehagian seorang musafir musafir di padang pasir yang kehilangan onta berisi semua perbekalannya, tiba-tiba untanya itu ditemukan (kembali)
Pertobatan perlu perjuangan (muhajadah). Ada tingkat-tingkat yang harus dilalui dalam mujahadah, yaitu:
1. Takhalli.
2. Tahalli
3. Tajalli

1. Takhalli
Takhalli berarti mengeluarkan. Maksudnya mengosongkan atau membuang atau menyucikan hati dari sifat-sifat yang keji. Membuat sifat-sifat iri, dengki, sombong, takabur, mengambil hak orang lain, mengambil yang bukan haknya, mencuri, korupsi, menipu, berzina, menggunjing (gossip), durhaka, dll. Pada peringkat ini, kita mesti melawan dan membuang (secara paksa) dan terus menerus semua kehendak nafsu yang rendah (jahat) dan yang dilarang oleh Allah. Selagi kita tidak membenci, memusuhi dan membuang kehendak-kehendak tersebut jauh-jauh secara paksa dan terus menerus, maka nafsu jahat itu akan sentiasa menguasai dan memperhambakan kita.
Apabila nafsu jahat dibiarkan menguasai kita, iman tidak akan mempunyai tempat dalam hati. Bila iman tidak ada, manusia bukan lagi menyembah Allah tetapi akan menyembah hawa nafsunya. Oleh itu, usaha melawan hawa nafsu jangan dianggap ringan. Ia adalah satu jihad yang besar.

2. Tahalli
Tahalli berarti mengisi. Mengisi hati atau menghiasi dengan sifat-sifat terpuji. Setelah kita mujahadah mengosongkan hati dari sifat-sifat mazmumah atau sifat-sifat keji, segera pula kita isi dan hiasi hati kita itu dengan sifat-sifat mahmudah atau terpuji. Untuk ini, sekali lagi kita perlu bermujahadah. Untuk membuang sifat-sifat mazmumah dari hati perlu mujahadah. Untuk mengisi hati dengan sifat-sifat mahmudah pun perlu mujahadah. Kalau tidak, iman tidak akan wujud dalam hati kerana iman itu berdiri di atas sifat-sifat mahmudah.

3. Tajalli
Tajalli berarti menampakkan, memanifestasikan. Menampakkan sifat-sifat baik kita dalam segala tindakan kita. Ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, maka dalam hati kita menyadari bahwa hanya Allah lah yang maha besar, sedangkan kita ini kecil. Bahkan yang lain juga kecil, apakah itu pimpinan kita, permasalahan yang sedang dihadapi, atau prestasi yang telah kita raih, semua menjadi kecil. Ketika kita dipuji orang kita tidak sombong. Biasanya kita kalau dipuji orang, menjadi sombong dan membanggakan diri dengan berucap: Iya siapa dong, kalau bukan karena saya, tidak akan beres. Maka orang yang telah mencapai tingkat tajalli ketika dipujia, akan mengucapkan Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, hanya Allah yang berhak dipuji.
Sebaliknya, tidak merasa hina atau marah ketika dicaci orang. Bahkan tidak takut ketika diancam orang. Ingat bahwa ajal, hidup, mati ada di tangan Allah. Ingat Al-Quran 35:13: Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.

Tidak terjadi sesuaitu tanpa adanya izin dari Allah.
Imam Al Ghazali, seorang ulama besar dan menguasai ilmu tasauf, suatu hari difitnah oleh muridnya. Fitnah tersebut menyebar ke masyarakat. Menghadapi hal tersebut Imam Al Ghazali tidak marah atau atau merasa terhina. Orang semulya Gazali-pun difitnah orang, Bagaimana dengan kita? Beberapa waktu berlalu, sang muridnya merasa bersalah dan ingin meminta maaf kepada muridnya. Ya Imam, yang menyebarkan fitnah tentang Imam adalah saya. Saya mohon maaf. Al Gazali menjawab, kamu rupanya. Tapi memberi maaf itu pekerjaan mudah. Namun sebelum saya memberi maaf, akan saya tunjukkan sesuatu kepada engkau. Al Gazali mengajak muridnya itu ke puncak bukit sambil membawa segenggam bulu burung. Sampai di puncak bukit sang Imam meniup bulu burung itu dan melepasnya. Kontan saja bulu burung beterbangan di hembus angin. Ada yang jatuh di tempat yang dekat, ada yang jauh, ada yang jatuh dipuncak rumah, di atas pohon, di sungai. Menyebar kemana-mana. Selanjutnya Imam mengatakan bisa kah engkau mengambil kembali bulu burung. Tentu saja itu pekerjaan yang sangat sulit dan tidak mungki, kalau tidak dikatakan mustahil. Begitu juga lah ibaratnya, fitnah yang disebarkan seseorang. Alangkah sulitnya memulihkan nama baik orang yang sudah difitnah. Mungkin dengan fitnah itu, pandangan masyarakat tentang seseorang telah terbentuk. Walaupun dalam dunia pers ada hak jawab, bagaimana kita mengembalikan pandangan semua masyarakat yang sempat mendengat fitnah tersebut. Kalaupun diralat, bisa saja orang yang mendengar fitnah tidak sempat mendengat ralatnya, atau dia lebih percaya pada berita pertama. Maka dari itu janganlah sekali-kali memfitnah orang.

Dengan Tajalli terasa kebesaran dan kehebatan Allah atau keadaan sentiasa rasa bertuhan. Ia adalah sebagai hasil dari mujahadah. Ia satu perasaan yang datang sendiri. Agak sukar untuk menggambarkan perasaan ini dengan bahasa tetapi secara ringkas, secara mudah dan secara asasnya, ia adalah rasa bertuhan, rasa dilihat dan diawasi oleh Tuhan, hidup, nampak dan terasa kebesaran Allah. Apa saja masalah hidup dihadapi dengan tenang dan bahagia. Tidak terasa kesusahan dalam hidup. Yang baik mapun yang buruk dirasakan sebagai hadiah dari Tuhan. Dunia terasa bagaikan Syurga. Inilah kebahagiaan yang sejati dan abadi iaitu kebahagiaan hati.
Disarikan dari ceramah Ust. Asep Zaenal Ausaf pada bulan Ramadhan 1429.