Tulisan ini merupakan kutipan dari salah satu sumber. mudahan-mudahan bermanfaat.
Sebelum
berbicara tentang rincian tantangan, perlu digaris bawahi bahwa tantangan dan
lawan yang harus dihadapi bukan saja yang datang dari luar, tetapi juga dari
dalam diri kita sendiri. Itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa Nabi saw.
Menegaskan - ketika kembali dari suatu pertempuran - bahwa: “Kita
baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar, yakni melawan diri
kita sendiri.” Diriwayatkan juga bahwa Sayyidina Ali kw. pernah bersabda: Hai manusia, penyakitmu ada pada dirimu,
tetapi engkau tidak mengetahui, dan obatnya ada padamu, tetapi engkau tidak
hiraukan.”
Kalau
kini kita telah menyadari adanya tantangan, maka tantangan itu pertama kali
harus dicari pada diri kita, sebelum mencari pada orang lain, atau menuduh
mereka menjadi penyebabnya. Dalam hal ini kita hendaknya belajar pada jari-jari
kita menunjuk. Hanya satu jari yang kita arahkan keluar, yaitu jari telunjuk,
sedangkan tiga jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri, dan salah satunya
ditekan oleh ibu jari kita.
Dahulu
umat islam disegani oleh masyarakat dunia. Mereka belajar dari kita. Tetapi,
kita tertinggal dalam segala bidang, bahkan kita mendapat tantangan dari segala
penjuru. Ada yang berkata andaikata Baghdad tidak jatuh ke tangan Mongol pada
tahun 1258 M, yang disusul dengan penghancuran pusat-pusat ilmu; dan andaikata
dunia barat tidak menemukan jalur perdagangan laut pada abad ke-15 M, tentulah
keadaan dunia islam tidak seperti sekarang ini. Tetapi apa gunanya
berandai-andai karena jarum waktu tidak bisa diputar kembali. Sejak itu,
sedikit demi sedikit – tetapi pasti – dunia islam telah mengalami keterpurukan,
dan itu berlanjut hingga kini.
Kini
dunia Islam yang mengalami kontak dengan Barat, bukan lagi dunia Islam sebelum
keruntuhan Baghdad, atau keruntuhan Dinasti Muwahiddun dan terusirnya kaum
Muslimin dari Spanyol tahun 1235 M. Bahkan, tantangan yang dihadapi kini bukan
hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi ideologi dan filsafat
materialistis, yang tak jarang bertentangan dengan ajaran islam.
Kesadaran
tentang adanya tantangan telah lama muncul. Aneka resep dan langkah perubahan
pun telah diupayakan. Ada yang mengambil sikap apatis atau acuh tak acuh
terhadap kemajuan itu, yang boleh jadi karena mereka tidak karena mereka tidak
menyadari dampak buruknya terhadap umat pada satu pihak, dan terbuai oleh
kejayaan masa lampau pada pihak lain. Mereka inilah yang menghasilkan apa yang
kemudian dinamai Adab al-Fakhr wa
at-Tamjid, yakni menunjuk zaman keemasan yang telah berlalu dan berbangga
dengannya. Dampak buruk dari sikap ini adalah sering kali bila ada penemuan
ilmiah dari pihak lain, kita berucap: “Itu sudah ada dalam al-Qur’an.”
Ada
juga yang berusaha menghadapi cabaran (tantangan) itu dengan pemurnian agama,
seperti antara lain yang dilakukan gerakan Wahabiyahdi Saudi Arabia, as
Sanusiyah di Libya, dan Jamaah Islamiyah di Pakistan. Mereka beranggapan bahwa
masa Rasulullah adalah masa terbaik berdasarkan hadits Rasulullah saw. Sebaik baik generasi adalah generasiku.
Konsekwensinya, mereka berusaha mempertahankan apa saja yang diterima dari Rasul saw. tanpa mempertimbangkan
faktor budaya dan perkembangan positif masyarakat. Mereka lupa atau mungkin
tidak mau tahu bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda : Umatku seperti hujan, tidak diketahui apakah awalnya , tengahnya , atau
akhirnya yang terbaik.
Adalagi
sekelompok kaum muslim yang menilai bahwa tantangan itu harus dihadapi dengan
belajar dari Barat dan mengambil segala sesuatu dari sana. Tetapi, mereka itu
sering sekali lupa pada akar budaya mereka sendiri serta ajaran agama Islam.
Ini, misalnya, ditempuh oleh Ahmad Khan di India dan Kemal at-Taturk di Turki.
Ada
juga sekelompok kecil lain yang berusaha mempelajari aneka kemajuan yang
dicapai oleh bangsa barat dan menerapkannya tanpa meninggalkan kepribadian dan
prinsip-prinsip ajaran agama. Ketiga pandangan di atas hingga kini masih
memiliki pendukung-pendukungnya.
Demikianlah,
kita mengetahui bahwa diri kita sakit, tetapi obat yang kita gunakan belum
tepat. Apa yang telah dilakukan selama ini, paling baru sebatas infus untuk
mempertahankan hidup, belum sampai pada pengobatan yang tepat untuk
menghilangkan penyakitnya.
Kini, kalau kita telah menyadari bahwa
masyarakat Islam berada dalam tantangan dan ketertinggalan, padahal dahulu pernah jaya, maka tuntunan
kitab suci kita menuntut agar kita mencari sebab perubahan itu. Mengapa kita
berubah sehingga kita terpuruk dalam keadaan tertantang? Mengapa dewasa ini
kita menjadi konsumen peradaban, sedang dahulu kita adalah produsennya?
Sebagian
pakar berkata bahwa untuk mewujudkan peradaban diperlukan tiga unsur yang
menyatu, yaitu manusia + tanah/wilayah + waktu. Tersedianya ketiga unsur
tersebut pun belum berarti , kecuali kalau ada zat perekatnya, yaitu agama dan
nilai-nilai spiritual.
Semua
peradaban lahir dari ketiga hal tersebut, yang tentu saja disertai dengan
perekatnya. Menurut sebagian pakar, seperti Max Weber, bahwa kebangkitan Eropa
lahir dari etika Protestan, dimana mereka menekankan bahwa surga itu dapat
diperoleh melalui sukses di dunia, dan karena itu, mereka bersungguh-sungguh
membangun diri dan masyarakat dalam kehidupan dunia ini guna meraih surga ukhrawi. Bandingkanlah nilai spiritual ini dengan pandangan
sebagian umat Islam yang bertolak belakang dengan nilai tersebut.
Dalam pengamatan banyak pakar, nilai-nilai spiritual atau ajaran agama
selalu menyertai lahirnya peradaban. Bahkan dari lima belas peradaban besar
yang dikenal dalam sejarah, dimulai dari Peradaban Sumeria hingga Peradaban
Amerika dewasa ini, kesemuanya lahir dari upaya mempertahankan nilai-nilai
tersebut yang terpaksa mereka lakukan dengan berhijrah ke tempat lain.
Umat islam dewasa ini memiliki ketiga unsur peradaban di
atas, manusia, tanah/materi, dan waktu. Umat Islam pun memiliki ajaran agama, namun keadaan kita
tidak seperti yang kita harapkan. Jika demikian, kita harus mencari akar
persoalannya - yang sekaligus menjadi tantangan kita – pada unsur-unsur
peradaban itu, manusia, tanah dan waktu, juga pada nilai-nilai perekatnya,
yakni pemahaman dan pengamalan agama kita. Apakah ada yang keliru? Jumlah kaum
muslimin banyak, tanah yang dimilikinya luas, dan waktu yang tersedia tidak
lebih sedikit dari waktu pihak lain. Jika demikian bagaimana dengan ajaran
agamanya? Adakah yang keliru? Setiap orang Muslim pasti akan berkata: Tidak!
Karena itu, boleh jadi pemahaman dan pengamalan kita terhadap Al-Quran-lah yang
keliru, dan dari sudut sini lahir slogan: Mari
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. (Insya Allah Bersambung)